Sabtu, 10 Januari 2009

Effendi Danata

GADIS MUSIM FEBRUARI

Apalagi yang kugantung di hatimu
Gadis bersukma musim februari
Segala jiwaku berputar-putar di musim februari
Seumpama lebah yang hinggap di jendela,terseok seok di ranjang hati
Melupakan sarangnya sendiri di balik pintu

Sepanjang apakah ‘kan kualirkan kelembutan hati
Wahai, gadis bermata bulan sabit
Kau masih berkemas kemas,mencaricari
Saat mawar mengantarmu di penghujung malam
Saat kesunyian telah menjadi kerinduan

Tahukah kau
Wahai, gadis berambut ilalang
Angin menyapa melalui lubang kunci
Keningnya mengkerut
Melepas senyum tak bermakna
Mungkin ia akan menyendiri
bersama gerimis di musim februari

BERCINTA DALAM SAJAK

Bercinta dalam sajak adalah keabadian, tulismu
Saat puisi mengalir di atas bumi
Merasuk, menggetarkan sendi sendi musim kemarau
Merestui seribu percintaan musim semi di hati

Tentu anak adam memanggut ramai
Serupa janji kekasih di atas sutra
Cahayanya berkilau dari lembah sungai Nil
Memberi kehangatan pada gurun yang dikutuk matahari

Adakah kau masih bercinta dalam sajak
Bila hari berangsur malam, lilin tak lagi menjadi pelita
Serupa udara tak mengetuk sang perawan di malam pengantin
Yang ranjangnya pun rebah di pangkuan keresahan

Adakah coretan-coretan yang menjadi sajak sepasang kekasih
Bila kuas-kuasnya tak berwarna
Sedang kanvas melebur setengah nafas
Menjamu kijang berlari pada lembah lembah tak berembun

Kata kata yang menuju ke mana pula
Yang bercinta dalam sajak
Sedang jiwamu terjebak dalam musim gugur
Dan hurup-hurupnya terjerembab entah kemana
Selengkapnya...

Sajak Effendi Danata

Aku telah berjalan ke hulu
Seperti pohon terbatuk-batuk disisi jalan
Menemukan selokan tak bermuara pada kali
Lalu menjemur diri pada rembulan


Aku belum menemukanmu, Nona
Ketika Musa menyapaku di bukit Tursina
Ketika Khairil Anwar termangu
Menyebut namamu dalam doa
Bisikan langit musim gugurlah
Menghantarku pada perjamuan lukisanmu
Ada rindu yang tak tertahan
Tertangkap saja dihalaman rumahmu
Mengeram mimpiku dengan air mata

Jangan kau berkata apa-apa, Nona
Meski kau menemukan apa-apa
Masuklah, telah kubukakan pintuku
Angin malam telah menyulam
Tak usah kau bisikkan
Segala rasa yang mengantarkanmu disudut matahari
Segala rindu yang hilang diujung jalan berkelok
Bibir tipis dan mata lugumu talah menyelimutiku
Dalam sajak yang bergemuruh laut

9 Januari 2009
Selengkapnya...

Sabtu, 03 Januari 2009

Sajak Maman Empun

TENTANG PEREMPUAN YANG LALU

Perempuan yang lalu itu telah kita hancurkan kisahnya dalam kemesraan yang terbangun di malam ini
Perempuan yang lalu itu sudah tak wangi dalam penciuman
Perempuan yang lalu itu makin tak terbaca dalam setiap pikiran yang menjelajah
Seperti lamat-lamat dan mungkin tercerabut dalam ungkapan-ungkapan hilang

Senyum perempuan lalu itu tak lagi merekah
Hanya malam yang mungkin ia persembahkan pada setiap titik-titik air yang jatuh di permukaan rembulan
Sementara kita mesti mengarungi hidup yang pasti
Yang setiap malam menyusun angka-angka
Menyulam huruf-huruf dalam rangkaian kejujuran
Maka kata rindu cukup dipersembahkan pada kebersamaan kita

ANAKKU SENANG MELIHAT HUJAN

Dari balik jendela
Mata bening dan kejernihan auranya
Mengalir di ujung percikan dan rintik
Memburu kepasrahan pada malam yang panjang
Tatapan untuk masa depan yang belum bisa terbaca
Entah akan menjadi mimpi atau hayalan dan prasasti
Ada yang jatuh menerpa langit-langit, tak luput juga dari pandangannya
Setitik demi setitik diiringinya dengan suara baskom dan talam
Hujan tak hanya turun di pekarangan rumah,
Teras kecil dengan sisa atap seng yang berkarat,
Atau kamar kecil yang terbuka atapnya agar tak lembab
Seperti pada kelahirannya
Seperti kepasrahan bapaknya
Seperti kerja ibunya
Ia membungkam pasi
Senyum, tawa disembunyikan dalam celana yang pesing setelah mengompol
Setelah lama terdengar nyanyian yang belum bisa dimengerti
Selengkapnya...