Kamis, 19 Februari 2009

Sajak sajak Maman Empun (Lombok Tengah)

KEMBALI KE LOMBOK

Padangbai melambaikan tangannya
Melepas tubuhku di atas gelombang
Gemuruh selat Lombok memecah aroma
Pulau dewata yang tertelan ombak
Di bawah bintang dan bulan kering

Ferry yang tertatih
Menyusuri tiupan angin dalam nafas ikan
Mengantar malam menuju pulau
Di geladaknya rinduku tertanam

Dari jauh
Rinjani memanggilku dari puncaknya
Senggigi memandang malam dari pantainya
Gili terawangan riuh dalam party
Sindang Gila meliuk dalam aliran Tiu Kelep
Rasa sate Bulayak taman Narmada
Menusuk Ampenan tua yang makin renta


Semakin dalam kerinduan
Saat pagi menyentuh pelabuhan
Senyum ramah pantai Sekotong
Menyambut matahari di pucak gunung Sasak
Mengelus perahu nelayan
Sebelum beranjak pulang.


OMBAK, MARAH !

Berteriaklah ombak
Jika kau rasakan sentuhan kehinaan
Yang mengelus setiap sudut sendi-sendimu
Hancurkan batu-batu kokoh
Lalu lumat butir-butir pasir
Karena angin ini telah pasrah

Suarakan amarahmu !

Senggigi, 3 Oktober 2004

RINJANI DALAM OBROLAN

Di tanah lapang ini
Aku mengajakmu bercengkrama
Mengenang butir keringat dan nafas terengah
Aroma pagi dan kabut
Derap desa Sembalun yang kaku
Lambaian pucuk cemara meraih langit
Rerumputan sabana di bukit Tengengean
Akar-akar cemara menguliti haus kita di Padabalong
Segara anak tak bergelombang
Ikan-ikan dalam perapian
Ditemani nyanyian balada pendaki tua
Mengisap rokok dalam dentingan gitarnya
Memecah sunyi Gunung baru dan Sangkareang
Bunga edelweis sepanjang jalan menuju puncak
Jadi teman dalam lelah
Tebing batu dan kaldera
pantulkan suara kerikil yang terjatuh injakan kaki
Kerinduan memuncak pada Pelawangan Senaru
Menderas mengalir seperti obrolan kita
Menghujan dan entah kapan mereda.


2006

SEKITAR MASJID AGUNG PRAYA

Suara azan magrib terdengar dari mulut loudspeaker
Memecah percakapan yang kita rangkai
dari kenangan masa lalu
Suara-suara motor bersliweran
di perempatan Kauman dan Bermis
Mengantar kita menuju tempat sujud marmer
Di bawah kubah raksasa

Seiring asap dari bara penjual jagung bakar
Yang belum juga lena melayani
Sepasang muda-mudi yang masih bercengkrama
Di sepanjang trotoar
Magrib merambat di setiap nafas
Bersama lampu jalan yang menyala
Suara bising knalpot
Seringkali menutup mata para jama’ah
Yang menengok malam dari halaqahnya

Terdengar ribuan wacana
Yang berkelana di luar
Sedikit bermakna
Tak banyak manfaat

Sementara di dalam sana
Do’a-do’a mengalir bagai sungai
Sesejuk kebun mawar dalam mewangian

2008

LEGENDA PUTRI MANDALIKA

Di bukit ini
ilalang bersetubuh dengan angin,
panas matahari dan suara ombak

Terlihat pasir putih di bibir pantai
Menyapa gelombang
Mengulum senyum

Aroma khas batu karang
Tertiup di sela selendang Putri Mandalika
Menjulur menyapu

Di bukit ini
Cinta dan kekuasaan tercampakkan
Meruang dalam aura putri sasak yang jelita
Di balik songketnya dan keputus asaan

Tak dapat ia kabarkan pada manusia
Bahwa cinta bukan untuk dimiliki sendiri
Hanya kepada laut dipersembahkan dirinya
Maka
Terbanglah nyawanya
Menyusuri kerasnya ombak Pantai Seger
Berharap cinta dapat terbagi
Dari legenda yang tercipta


Songket : Kain tenun Sasak


2 komentar:

  1. T.T
    pulang KEMBALI KE LOMBOK dalam puisi ini, membuat dada saya terhenyak...
    ingin segera saya siapkan Ransel, lalu kunci pintu kontarkan rapat2... berjalan merunduk ke terminal, menyetop Bus dan menghitung tiap jengakl untuk sampai pada puisi di atas : saya ingin pulang-juga. Sayang, waktu dan kesibukan sedang memngikat saya dan menjadikan hayalan itu menguap..
    aku rindu tanah kelahiran....

    BalasHapus